Sabtu, 25 April 2009

Memahami Arti memberi dengan cinta…

Rasanya saya menjadi malu pada diri sendiri ketika secara tidak sengaja membaca suatu artikel mengenai “memberi dengan cinta”. Dalam artikel tersebut dikisahkan mengenai kisah seorang Wanita Sholeh yang bernama Fathimah Az-zahra yang bernazar untuk berpuasa selama tiga hari. Kemudian dalam cerita itu keluarga Fathimah melaksanakan nazar tersebut dan ketika pada hari pertama mereka berpuasa, ketika akan berbuka, datanglah seorang miskin mengetuk pintu dan meminta makanan. Kemudian Fathimah menyerahkan satu-satunya roti yang dimasaknya hari itu dan mereka sekeluarga hanya berbuka dengan air. Kemudian hari berikutnya, mereka kembali berpuasa dan ketika akan berbuka, datanglah seorang anak yatim yang kelaparan, Fatimah kembali menyerahkan satu-satunya roti yang ada dan mereka pun kembali berbuka dengan air semata. Selanjutnya pada hari ketiga, peristiwa itu terulang lagi. Kali ini, seorang yang baru bebas dari penjara, datang meminta bantuan. Fathimah, Ali, Hasan, dan Husain pun kembali harus berbuka dengan air putih, sehingga tubuh mereka benar-benar lemah tak berdaya. Saat itulah, Rasulullah datang menemui mereka dan Jibril turun menyampaikan wahyu surat Al-Insan kepada Rasulullah.

Saya benar-benar larut pada cerita itu. Bagaimana mungkin kita bisa meneladani orang-orang seperti itu? Kadang Saya merasakan betapa berat menyedekahkan sebagian rezeki kepada orang lain, bukan karena saya takut akan kelaparan tapi ketakutan saya lebih ke arah karena saya belum punya-ini itu. Saya sibuk berpikir, seberapa banyak sih, seharusnya kita memberi bantuan kepada orang lain?. Kemudian saya jadi teringat mengenai “kejengkelan” saya yang terkadang muncul karena terus “diharuskan” memberi bantuan kepada keluarga padahal saya kan harus nabung. ( saya harus lebih banyak beristighfar,, hehhehe..) Dan saya mulai tersadarkan ketika saya dengan seksama membaca artikel tersebut menyinggung mengenai konsep baru tentang “tabungan”, misalnya: menyekolahkan adik adalah “tabungan”, menghajikan orangtua adalah “tabungan”, memberi santunan pada dhuafa adalah “tabungan”. Saya menjadi tercenung.

Kemudian saya membuka surat Al Ihsan yang disinggung dalam kisah tersebut, yaitu “Mereka memberi makanan—meskipun mereka sendiri sangat menginginkannya kepada orang miskin, yatim piatu, dan tawanan. (mereka berkata) Kami memberi kalian makan hanya karena Allah semata. Kami tiada menginginkan balasan, dan tiada pula terima kasih dari kamu. Yang kami takutkan dari Tuhan kami ialah hari bermuram durja, hari malapetaka. Maka Allah menyelamatkan mereka dari keburukan bencana hari itu dan mencurahkan kepada mereka cahaya dan kegembiraan. Dia memberi mereka taman surga dan pakaian sutera karena kesabarannya. ….Kepada mereka diedarkan bejana perak dan piala kristal…dan mereka diberi minum … dari mata air yang disebut Salsabila.”

Setelah membaca QS Al Ihsan tersebut hati saya menjadi tersejukkan dan memahami bahwa, alangkah indahnya janji Allah bagi mereka yang mau memberi! Bukan memberi dengan pamrih dan geram di hati, tetapi, memberi dengan cinta...

Tidak ada komentar: